Liputan6.com, Aceh - Pantulan strobo di dinding gedung itu membuat pandangan terdistraksi, pun begitu suara campur baur dari pelantang yang terdengar kakofoni. Orang-orang saat itu sedang menunggu.
Sementara itu, seorang lelaki dengan gitar akustik, topi, dan setelan kasual, duduk membelakangi latar panggung bercorak abstrak, menunggu aba-aba. Sesaat yang lalu penonton telah disuguhi performa lewah yang lazim ditemukan dalam acara formal mana pun, kini saatnya 'resistankustik', menabur Laportea ke kursi penonton.
Bahwa bencana berbanding lurus dengan ulah manusia menjadi pengisi sekapur sirihnya dalam acara bertema mitigasi yang digelar salah satu instansi pemerintah di Museum Tsunami, Banda Aceh. Dan, gitar itu pun digenjrengnya, dengan sederhana.
"Nyo bak bayeu cit han jeut teulat bacut lewat, laju ka di denda, pu peugah nyo jeh, akai paleh, tinggai peulara (Kalau bayar enggak boleh telat sedikit langsung didenda. Buat apa bilang ini itu, akal licik, tinggal dipelihara," demikian salah satu bait lagu berjudul PLN yang dinyanyikannya.
Untuk sebuah nyanyian, lagu Peudep Lampu Nanggroe berarti "Hidupkan Lampu Negeri" cukup menggelitik dan memancing tawa, tapi Pan Amroe tidak sedang bercanda, biarpet baginya juga 'bencana.' Lirik-lirik 'pedas' sang solois telah mewakili unek-unek para pendengarnya.
Pan adalah sesuatu yang liyan, appetizer ketika penonton mulai jengah. Satu dari dua lagu yang dia bawa merupakan luapan kekesalan jika tidak disebut tamparan, terutama bagi para pejabat yang hadir di antara barisan penonton pada malam itu, Sabtu (30/11/2019).
Pada lain bait, personel Jelatank menyentil ketidakmampuan Aceh menyuplai listrik secara mandiri. Kebutuhan listrik di provinsi paling barat masih disokong dari provinsi lain, berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa Aceh provinsi yang disebut "kaya sumber daya" oleh lelaki yang tergabung dalam komunitas seni Kanot Bu.
"Bek harap bak gop bek di remot, le ureueng lua (Jangan berharap sama orang, jangan mau dikendalikan sama orang luar)."
Warga seputaran Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar belakangan kerap mengeluh soal pelayanan PT PLN (Persero). Listrik sering biarpet pada malam hari.
Di banyak media, PLN Wilayah Aceh berkilah beban puncak listrik di Serambi Makkah membengkak hingga 490 megawatt. Sementara, suplai yang tersedia hanya 300 megawatt.
Untuk menutupi kekurangan itu harus disuplai dari Sumatera Bagian Utara. Padahal, terdapat dua pembangkit dengan persediaan yang seyogianya cukup menghendel seluruh kebutuhan listrik di Aceh, yakni PLTMG Arun dan PLTU Nagan Raya.
Pun begitu, persediaan listrik di PLTMG Arun sebesar 240 megawatt itu ternyata baru bisa masuk akhir Desember. Itupun hanya sebesar 50 megawatt, sisanya menyusul pada 2020.
Biarpet bagi sebagian orang merupakan masalah klasik. Seorang pemuda Pidie Jaya menyebutnya skenario pelik dari 'permainan' yang diawetkan dan merugikan.
"Seharusnya Aceh sudah mandiri soal listrik. Pemerintah Aceh harusnya turun tangan agar pemenuhan listrik dapat maksimal sehingga masyarakat tidak dirugikan," tegas Nasrijal, salah seorang pemuda Lhok Puuk, Kecamatan Pante Raja, Sabtu malam.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
"listrik" - Google Berita
December 02, 2019 at 01:00AM
https://ift.tt/2R8pf5n
Listrik di Aceh dalam 'Resistankustik' - Liputan6.com
"listrik" - Google Berita
https://ift.tt/2I79PZZ
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Listrik di Aceh dalam 'Resistankustik' - Liputan6.com"
Post a Comment